A.
Mengenal Cyber Crime
Internet telah menciptakan dunia baru yang
dinamakan cyberspace yaitu sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang
menawarkan realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata).
Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat
juga menimbulkan ekses negatif dengan terbukanya peluang penyalahgunaan
teknologi tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi yang
dikerjakan secara elektronik. Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah
kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang luas.
Kriminalitas
di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang
berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam
cyberspace ataupun kepemilikan pribadi. Cybercrime merupakan fenomena sosial
yang membuka cakrawala keilmuan dalam dunia hukum, betapa suatu kejahatan yang
sangat dasyat dapat dilakukan dengan hanya duduk manis di depan komputer.
Cybercrime merupakan sisi gelap dari kemajuan tehnologi komunikasi dan
informasi yang membawa implikasi sangat luas dalam seluruh bidang kehidupan
karena terkait erat dengan economic crime dan organized crimes.
Dalam
beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan sebagai computer crime. The
U.S. Department of Justice memberikan pengertian Computer Crime sebagai: “… any
illegal act requiring knowledge of Computer technology for its perpetration,
investigation, or prosecution”. Pengertian lainnya diberikan oleh Organization
of European Community Development, yaitu: “any illegal, unethical or
unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the
transmission of data”. Andi Hamzah dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana di Bidang
Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer
secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.
Sedangkan menurut Eoghan Casey “Cybercrime is used throughout this text to
refer to any crime that involves computer and networks, including crimes that
do not rely heavily on computer“.
B.
Jenis-jenis Cyber Crime
Eoghan Casey mengkategorikan cybercrime dalam 4 kategori yaitu:
A computer can be the object of Crime
Eoghan Casey mengkategorikan cybercrime dalam 4 kategori yaitu:
A computer can be the object of Crime
A computer can be a subject of crime.
The computer can be used as the tool for conducting or planning a crime.
The symbol of the computer itself can be used to intimidate or deceive.
The computer can be used as the tool for conducting or planning a crime.
The symbol of the computer itself can be used to intimidate or deceive.
Polri
dalam hal ini unit cybercrime menggunakan parameter berdasarkan dokumen kongres
PBB tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offlenderes di Havana,
Cuba pada tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000, menyebutkan ada 2 istilah
yang dikenal :
Cyber crime in a narrow sense (dalam arti
sempit) disebut computer crime: any illegal behaviour directed by means of
electronic operation that target the security of computer system and the data
processed by them.
Cyber crime in a broader sense (dalam arti
luas) disebut computer related crime: any illegal behaviour committed by means
on relation to, a computer system offering or system or network, including such
crime as illegal possession in, offering or distributing information by means
of computer system or network.
C.
Tingkatan Hacker
Dunia
bawah tanah para hacker memberi jenjang atau tingkatan bagi para anggotanya.
Kepangkatan diberikan berdasarkan kepiawaian seseorang dalam hacking.
Tingkatannya yaitu :
1.
Elite
Ciri-cirinya
adalah : mengerti sistem operasi luar dalam, sanggup mengkonfigurasi dan
menyambungkan jaringan secara global, melakukan pemrogramman setiap harinya,
effisien dan trampil, menggunakan pengetahuannya dengan tepat, tidak menghancurkan data-data, dan selalu
mengikuti peraturan yang ada. Tingkat Elite ini sering disebut sebagai ‘suhu’.
2.
Semi Elite
Ciri-cirinya
adalah : lebih muda dari golongan elite, mempunyai kemampuan dan pengetahuan
luas tentang komputer, mengerti tentang sistem operasi (termasuk lubangnya),
kemampuan programnya cukup untuk mengubah program eksploit.
3.
Developed Kiddie
Ciri-cirinya
adalah : umurnya masih muda (ABG) dan masih sekolah, mereka membaca tentang
metoda hacking dan caranya di berbagai kesempatan, mencoba berbagai sistem
sampai akhirnya berhasil dan memproklamirkan kemenangan ke lainnya, umumnya
masih menggunakan Grafik User Interface (GUI) dan baru belajar basic dari UNIX
tanpa mampu menemukan lubang kelemahan baru di sistem operasi.
4.
Script Kiddie
Ciri-cirinya
adalah : seperti developed kiddie dan juga seperti Lamers, mereka hanya
mempunyai pengetahuan teknis networking yang sangat minimal, tidak lepas dari
GUI, hacking dilakukan menggunakan trojan untuk menakuti dan menyusahkan hidup
sebagian pengguna Internet.
5.
Lamer
Ciri-cirinya
adalah : tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan tapi ingin menjadi hacker
sehingga lamer sering disebut sebagai ‘wanna-be’ hacker, penggunaan komputer
mereka terutama untuk main game, IRC, tukar menukar software prirate, mencuri
kartu kredit, melakukan hacking dengan menggunakan software trojan, nuke dan
DoS, suka menyombongkan diri melalui IRC channel, dan sebagainya. Karena banyak
kekurangannya untuk mencapai elite, dalam perkembangannya mereka hanya akan
sampai level developed kiddie atau script kiddie saja.
Tahapan
yang dilalui oleh mereka yang menjadi hacker sebenarnya sulit untuk mengatakan
tingkatan akhir atau final dari hacker telah tercapai, karena selalu saja ada
sesuatu yang baru untuk dipelajari atau ditemukan (mengumpulkan informasi dan
mempelajarinya dengan cermat merupakan dasar-dasar yang sama bagi seorang
hacker) dan hal tersebut juga tergantung perasaan(feeling).
Seorang
hacker memiliki tujuan yaitu untuk menyempurnakan sebuah sistem sedangkan
seorang cracker lebih bersifat destruktif. Umumnya cracker melakukan cracking
untuk menggunakan sumber daya di sebuah sistem untuk kepentingan sendiri.
Bagaimana
cara cracker merusak ? Seorang cracker dapat melakukan penetrasi ke dalam
sistem dan melakukan pengrusakan. Ada banyak cara yang biasanya digunakan untuk
melakukan penetrasi antara lain : IP Spoofing (Pemalsuan alamat IP), FTP Attack
dan lain-lain.
Agar
cracker terlindungi pada saat melakukan serangan, teknik cloacking (penyamaran)
dilakukan dengan cara melompat dari mesin yang sebelumnya telah di compromised
(ditaklukan) melalui program telnet atau rsh. Pada mesin perantara yang
menggunakan Windows serangan dapat dilakukan dengan melompat dari program
Wingate. Selain itu, melompat dapat dilakukan melalui perangkat proxy yang
konfigurasinya kurang baik.
Pada
umumnya, cara-cara tersebut bertujuan untuk membuat server dalam sebuah sistem
menjadi sangat sibuk dan bekerja di atas batas kemampuannya sehingga sistem
akan menjadi lemah dan mudah dicrack.
Hacker
sejati menyebut orang-orang ini ‘cracker’ dan tidak suka bergaul dengan mereka.
Hacker sejati memandang cracker sebagai orang malas, tidak bertanggung jawab,
dan tidak terlalu cerdas. Hacker sejati tidak setuju jika dikatakan bahwa
dengan menerobos keamanan seseorang telah menjadi hacker.
D.
Modus Operandi Cyber Crime
Kejahatan
yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan
jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk sesuai modus operandi
yang ada, antara lain:
1. Unauthorized Access to Computer System
and Service
Kejahatan
yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer
secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem
jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker)
melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan
rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa
tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki
tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya
teknologi Internet/intranet. Kita tentu belum lupa ketika masalah Timor Timur
sedang hangat-hangatnya dibicarakan di tingkat internasional, beberapa website
milik pemerintah RI dirusak oleh hacker (Kompas, 11/08/1999). Beberapa waktu
lalu, hacker juga telah berhasil menembus masuk ke dalam data base berisi data
para pengguna jasa America Online (AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang
bergerak dibidang ecommerce yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi
(Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs Federal Bureau of Investigation (FBI)
juga tidak luput dari serangan para hacker, yang mengakibatkan tidak
berfungsinya situs ini beberapa waktu lamanya (http://www.fbi.org).
2. Illegal Contents
Merupakan
kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu hal
yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau
mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya, pemuatan suatu berita bohong
atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain,
hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang
merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan
yang sah dan sebagainya.
3. Data Forger
Merupakan
kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan
sebagai scripless document melalui Internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan
pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi “salah
ketik” yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku karena korban akan
memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja disalah gunakan.
4. Cyber Espionage
Merupakan
kejahatan yang memanfaatkan jaringan Internet untuk melakukan kegiatan
mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer
(computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan
terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data pentingnya (data base)
tersimpan dalam suatu sistem yang computerized (tersambung dalam jaringan
komputer)
5. Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan
ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap
suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung
dengan Internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu
logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data,
program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak
berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh
pelaku.
6. Offense against Intellectual Property
Kejahatan
ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain
di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada web page suatu situs milik
orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di Internet yang ternyata
merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.
7. Infringements of Privacy
Kejahatan
ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan
pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila
diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun
immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit
tersembunyi dan sebagainya.
E.
Pencegahan dan Penanggulangan Cybercrime Dengan Sarana “on Penal
Cybercrime merupakan kejahatan yang dilakukan dengan dan
memanfaatkan teknologi, sehingga pencegahan dan penanggulangan dengan sarana
penal tidaklah cukup. Untuk itu diperlukan sarana lain berupa teknologi itu
sendiri sebagai sarana non penal. Teknologi itu sendiripun sebetulnya belum
cukup jika tidak ada kerjasama dengan individu maupun institusi yang
mendukungnya. Pengalaman negara-negara
lain membuktikan bahwa kerjasama yang baik antara pemerintah, aparat penegak
hukum, individu maupun institusi dapat menekan terjadinya cybercrime.
Tidak
ada jaminan keamanan di cyberspace, dan tidak ada sistem keamanan computer yang
mampu secara terus menerus melindungi data yang ada di dalamnya. Para hacker
akan terus mencoba untuk menaklukkan sistem keamanan yang paling canggih, dan
merupakan kepuasan tersendiri bagi hacker
jika dapat membobol sistem keamanan komputer orang lain. Langkah yang baik adalah dengan selalu
memutakhirkan sistem keamanan computer dan melindungi data yang dikirim dengan
teknologi yang mutakhir pula.
Pada
persoalan cyberporn atau cyber sex, persoalan pencegahan dan penanggulangannya
tidaklah cukup hanya dengan melakukan kriminalisasi yang terumus dalam bunyi
pasal. Diperlukan upaya lain agar pencegahannya dapat dilakukan secara efektif. Pengalaman Negara menunjukkan bahwa kerjasama
antara pemerintah, aparat penegak hukum, LSM dan masyarakat dapat mengurangi
angka kriminalitas. Berikut pengalaman beberapa Negara itu:
1.
Di Swedia, perusahaan keamanan internet, NetClean Technology bekerjasama dengan
Swedish National Criminal Police Department dan NGO ECPAT, mengembangkan
program software untuk memudahkan pelaporan tentang pornografi anak. Setiap
orang dapat mendownload dan menginstalnya ke computer. Ketika seseorang meragukan apakah material
yang ada di internet itu legal atau tidak, orang tersebut dapat menggunakan
software itu dan secara langsung akan segera mendapat jawaban dari ECPAT
Swedia.
2.
Di Inggris, British Telecom mengembangkan program yang dinamakan Cleanfeed
untuk memblok situs pornografi anak sejak Juni 2004. Untuk memblok situ situ,
British Telecom menggunakan daftar hitam dari Interent Watch Foundation (IWF).
Saat ini British Telecom memblok kira-kira 35.000 akses illegal ke situs
tersebut. Dalam memutuskan apakah suatu situs hendak diblok atau tidak, IWF
bekerjasama dengan Kepolisian Inggris. Daftar situ itu disebarluaskan kepada
setiap ISP, penyedia layanan isi internet, perusahaan filter/software dan
operator mobile phone.
3.
Norwegia mengikuti langkah Inggris
dengan bekerjasama antara Telenor dan Kepolisian Nasional Norwegia, Kripos.
Kripos menyediakan daftar situs child pornography dan Telenor memblok setiap orang yang
mengakses situs itu. Telenor setiap hari memblok sekitar 10.000 sampai 12.000
orang yang mencoba mengunjungi situs itu.
4.
Kepolisian Nasional Swedia dan Norwegia bekerjasama dalam memutakhirkan daftar
situs child pornography dengan bantuan
ISP di Swedia. Situs-situs tersebut dapat diakses jika mendapat persetujuan
dari polisi.
5.
Mengikuti langkah Norwegia dan Swedia, ISP di Denmark mulai memblok situs child pornography sejak Oktober 2005. ISP di sana bekerjasama
dengan Departemen Kepolisian Nasional yang menyediakan daftar situs untuk
diblok. ISP itu juga bekerjasama dengan NGO Save the Children Denmark. Selama
bulan pertama, ISP itu telah memblok 1.200 pengakses setiap hari.
Sebenarnya
Internet Service Provider (ISP) di Indonesia juga telah melakukan hal serupa,
akan tetapi jumlah situs yang diblok belum banyak sehingga para pengakses masih
leluasa untuk masuk ke dalam situs tersebut, terutama situs yang berasal dari
luar negeri. Untuk itu ISP perlu bekerjasama dengan instansi terkait untuk
memutakhirkan daftar situs child pornography yang perlu diblok. Faktor penentu
lain dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dengan sarana non penal
adalah persoalan tentang etika. Dalam berinteraksi dengan orang lain
menggunakan internet, diliputi oleh suatu aturan tertentu yang dinamakan
ettiquette atau etika di internet. Meskipun belum ada ketetapan yang baku
mengenai bagaimana etika berinteraksi di internet, etika dalam berinteraksi di
dunia nyata (real life) dapat dipakai sebagai acuan.
F.
Penanganan Cybercrime di Indonesia
Meski
Indonesia menduduki peringkat pertama dalam
cybercrime pada tahun 2004, akan
tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal ini angka dark number cukup besar
dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi
Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban. Ada beberapa sebab mengapa penanganan kasus
cybercrime di Indonesia tidak memuaskan:
1. Ketersediaan dana atau anggaran untuk
pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk
mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
2. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer
di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar.
Pada
kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke
Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking
tersebut.
3. Citra lembaga peradilan yang belum
membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan.
Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan
kasusnya ke kepolisian.
4. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke
kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh
citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban
tidak ingin kelemahan dalam system komputernya diketahui oleh umum, yang
berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.
5. Upaya penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat
teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk
membangun masyarakat yang berbudaya informasi.
Keberadaan undang-undang yang mengatur cybercrime memang diperlukan,
akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak
memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi
sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan
pembentukan hukum tersebut.
Beberapa
langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan
cybercrime adalah :
1. Melakukan modernisasi hukum pidana
nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi
internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan
komputer nasional sesuai standar internasional.
3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian
aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan
perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
4. Meningkatkan kesadaran warga negara
mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut
terjadi.
5. Meningkatkan kerjasama antar negara, baik
bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime,
antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.
Contoh Kasus :
KASUS 1 :
Istilah hacker biasanya mengacu pada seseorang yang punya minat besar untuk mempelajari sistem komputer secara detail dan bagaimana meningkatkan kapabilitasnya. Adapun mereka yang sering melakukan aksi-aksi perusakan di internet lazimnya disebut cracker. Boleh dibilang cracker ini sebenarnya adalah hacker yang yang memanfaatkan kemampuannya untuk hal-hal yang negatif. Aktivitas cracking di internet memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan account milik orang lain, pembajakan situs web, probing, menyebarkan virus, hingga pelumpuhan target sasaran. Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS (Denial Of Service). Dos attack merupakan serangan yang bertujuan melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat memberikan layanan.
Pada kasus Hacking ini biasanya modus seorang hacker adalah untuk menipu atau mengacak-acak data sehingga pemilik tersebut tidak dapat mengakses web miliknya. Untuk kasus ini Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
KASUS 2 :
Penyebaran virus dengan sengaja, ini adalah salah satu jenis kasus cyber crime yang terjadi pada bulan Juli 2009, Twitter (salah satu jejaring social yang sedang naik pamor di masyakarat belakangan ini) kembali menjadi media infeksi modifikasi New Koobface, worm yang mampu membajak akun Twitter dan menular melalui postingannya, dan menjangkiti semua follower. Semua kasus ini hanya sebagian dari sekian banyak kasus penyebaran malware di seantero jejaring social. Twitter tak kalah jadi target, pada Agustus 2009 diserang oleh penjahat cyber yang mengiklankan video erotis. Ketika pengguna mengkliknya, maka otomatis mendownload Trojan-Downloader.Win32.Banload.sco.
Modus serangannya adalah selain menginfeksi virus, akun yang bersangkutan bahkan si pemiliknya terkena imbas. Karena si pelaku mampu mencuri nama dan password pengguna, lalu menyebarkan pesan palsu yang mampu merugikan orang lain, seperti permintaan transfer uang . Untuk penyelesaian kasus ini, Tim keamanan dari Twitter sudah membuang infeksi tersebut. Tapi perihal hukuman yang diberikan kepada penyebar virusnya belum ada kepastian hukum.
KASUS 3 :
Perjudian online, pelaku menggunakan sarana internet untuk melakukan perjudian. Seperti yang terjadi di Semarang, Desember 2006 silam. Para pelaku melakukan praktiknya dengan menggunakan system member yang semua anggotanya mendaftar ke admin situs itu, atau menghubungi HP ke 0811XXXXXX dan 024-356XXXX. Mereka melakukan transaki online lewat internet dan HP untuk mempertaruhkan pertarungan bola Liga Inggris, Liga Italia dan Liga Jerman yang ditayangkan di televisi. Untuk setiap petaruh yang berhasil menebak skor dan memasang uang Rp 100 ribu bisa mendapatkan uang Rp 100 ribu, atau bisa lebih. Modus para pelaku bermain judi online adalah untuk mendapatkan uang dengan cara instan. Dan sanksi menjerat para pelaku yakni dikenakan pasal 303 tentang perjudian dan UU 7/1974 pasal 8 yang ancamannya lebih dari 5 tahun.
Contoh Kasus :
KASUS 1 :
Istilah hacker biasanya mengacu pada seseorang yang punya minat besar untuk mempelajari sistem komputer secara detail dan bagaimana meningkatkan kapabilitasnya. Adapun mereka yang sering melakukan aksi-aksi perusakan di internet lazimnya disebut cracker. Boleh dibilang cracker ini sebenarnya adalah hacker yang yang memanfaatkan kemampuannya untuk hal-hal yang negatif. Aktivitas cracking di internet memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan account milik orang lain, pembajakan situs web, probing, menyebarkan virus, hingga pelumpuhan target sasaran. Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS (Denial Of Service). Dos attack merupakan serangan yang bertujuan melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat memberikan layanan.
Pada kasus Hacking ini biasanya modus seorang hacker adalah untuk menipu atau mengacak-acak data sehingga pemilik tersebut tidak dapat mengakses web miliknya. Untuk kasus ini Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
KASUS 2 :
Penyebaran virus dengan sengaja, ini adalah salah satu jenis kasus cyber crime yang terjadi pada bulan Juli 2009, Twitter (salah satu jejaring social yang sedang naik pamor di masyakarat belakangan ini) kembali menjadi media infeksi modifikasi New Koobface, worm yang mampu membajak akun Twitter dan menular melalui postingannya, dan menjangkiti semua follower. Semua kasus ini hanya sebagian dari sekian banyak kasus penyebaran malware di seantero jejaring social. Twitter tak kalah jadi target, pada Agustus 2009 diserang oleh penjahat cyber yang mengiklankan video erotis. Ketika pengguna mengkliknya, maka otomatis mendownload Trojan-Downloader.Win32.Banload.sco.
Modus serangannya adalah selain menginfeksi virus, akun yang bersangkutan bahkan si pemiliknya terkena imbas. Karena si pelaku mampu mencuri nama dan password pengguna, lalu menyebarkan pesan palsu yang mampu merugikan orang lain, seperti permintaan transfer uang . Untuk penyelesaian kasus ini, Tim keamanan dari Twitter sudah membuang infeksi tersebut. Tapi perihal hukuman yang diberikan kepada penyebar virusnya belum ada kepastian hukum.
KASUS 3 :
Perjudian online, pelaku menggunakan sarana internet untuk melakukan perjudian. Seperti yang terjadi di Semarang, Desember 2006 silam. Para pelaku melakukan praktiknya dengan menggunakan system member yang semua anggotanya mendaftar ke admin situs itu, atau menghubungi HP ke 0811XXXXXX dan 024-356XXXX. Mereka melakukan transaki online lewat internet dan HP untuk mempertaruhkan pertarungan bola Liga Inggris, Liga Italia dan Liga Jerman yang ditayangkan di televisi. Untuk setiap petaruh yang berhasil menebak skor dan memasang uang Rp 100 ribu bisa mendapatkan uang Rp 100 ribu, atau bisa lebih. Modus para pelaku bermain judi online adalah untuk mendapatkan uang dengan cara instan. Dan sanksi menjerat para pelaku yakni dikenakan pasal 303 tentang perjudian dan UU 7/1974 pasal 8 yang ancamannya lebih dari 5 tahun.
KESIMPULAN
Dunia
maya tidak berbeda jauh dengan dunia nyata. Mudah-mudahan para penikmat
teknologi dapat mengubah mindsetnya bahwa hacker itu tidak selalu jahat.
Menjadi hacker adalah sebuah kebaikan tetapi menjadi seorang cracker adalah
sebuah kejahatan. Segalanya tergantung individu masing-masing.
Para
hacker menggunakan keahliannya dalam hal komputer untuk melihat, menemukan dan
memperbaiki kelemahan sistem keamanan dalam sebuah sistem komputer ataupun
dalam sebuah software. Oleh karena itu, berkat para hacker-lah Internet ada dan
dapat kita nikmati seperti sekarang ini, bahkan terus di perbaiki untuk menjadi
sistem yang lebih baik lagi. Maka hacker dapat disebut sebagai pahlawan
jaringan sedang cracker dapat disebut sebagai penjahat jaringan karena
melakukan melakukan penyusupan dengan maksud menguntungkan dirinya secara personallity
dengan maksud merugikan orang lain. Hacker sering disebut hacker putih (yang
merupakan hacker sejati yang sifatnya membangun) dan hacker hitam (cracker yang
sifatnya membongkar dan merusak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar